Hidup Dalam Sebuah Kotak Kecil
Beberapa bulan lalu saya memutuskan untuk staycation selama dua malam di salah satu apartemen di area Jakarta setelah sekian lama.
Saya tinggal dan besar di area perumahan yang jauh dari apartemen dan selalu hidup dikelilingi oleh lingkungan yang ramai dengan lalu lalang orang lewat dan banyak sekali pedagang, mulai dari warung ke beragam penjual makanan.
Rumah (orang tua) saya berada di sisi jalan utama. Terdapat sungai kecil di depannya dengan pohon palem di sepanjang pinggiran sungai. Tidak sulit menemukan rumah kami karena di area tersebut hanya rumah kami yang memiliki kebun yang rimbun. Segala kondisi akrab dan familiar inilah yang membuat saya tumbuh dengan berpikiran bahwa lingkungan yang seperti ini yang merupakan lingkungan ideal bagi saya untuk tinggal nantinya setelah saya dewasa dan memiliki tempat tinggal sendiri.
Namun pikiran saya mulai berubah sejak pertama kali saya pergi ke Jepang pada akhir masa kuliah saya di 2013. Jepang yang memiliki keterbatasan lahan fokus pada pembangunan apartemen-apartemen minimalis dan pemanfaatan lahan-lahan yang sempit. Saya mendapat kesempatan tinggal di ruang-ruang kecil yang hampir tidak ada ornamen apa-apanya. Hal ini hanya saya lihat di komik sebelumnya.
Lalu semenjak lulus kuliah, karir fotografi saya mulai menanjak dan hidup saya yang merupakan anak rumahan ini semakin dipenuhi dengan traveling dan petualangan. Setiap tahunnya, entah berapa malam yang saya habiskan di hotel maupun apartemen dalam rangka pekerjaan, berapa jam yang saya habiskan di jalan, dan berapa penerbangan yang saya naiki; baik itu domestik maupun internasional. Saya pindah dari satu kamar ke kamar lainnya.
Kembali ke kamar staycation saya bulan November lalu, saya yang pada satu malam melihat ke luar jendela mengamati ratusan jendela lainnya di komplek apartemen sekeliling saya. Banyak sekali kamar yang terlihat gelap, namun tidak sedikit kamar yang lampunya menyala terang. Ada yang terlihat sedang masak, menonton TV, mengobrol dengan pasangannya, memberi makan anak bayinya, menjemur pakaian, ataupun menari-nari seolah tak ada yang melihat.
Hal ini membuat saya berpikir bahwa setiap jendela yang berada di sekeliling saya sudah seperti kehidupan manusia. Jendela-jendela yang nampak menyala dan mati merupakan gambaran hari-hari dalam kehidupan yang kita lalui. Setiap orang berada dalam kotak kehidupannya masing-masing.
Walaupun diberikan ruang yang sama, masing-masing dari kita bebas menghias kotak kita seperti apa. Kitapun bebas melakukan apa saja di dalam kotak kita sesuai yang kita mau. Kita bisa mengisi kotak tersebut hingga penuh, ataupun membuang hal-hal yang kita rasa tidak kita butuhkan lagi.
Dengan keterbatasan ruang, banyak hal yang bisa disadari untuk tidak perlu kita miliki atau kita beli dan bisa kita pinjam ataupun gunakan di tempat lain. Kita akan belajar menilai sampai mana yang kita rasa cukup bagi diri kita sendiri. Dan pada akhirnya, hei..saya merasa tidak perlu banyak hal untuk membuat kita bahagia dalam perasaan berkecukupan yang penuh kesyukuran.
Bahkan kamar di seberang jendela kamar saya seolah berbicara bahwa jika kalian merasa ingin merayakan natal lebih awal, silakan saja.
Pada saat saya menulis tulisan ini bulan November lalu, sudah satu minggu sejak saya mengaktifkan sosmed, konten, dan berkegiatan sebagai dosen virtual. Di luar dugaan, saat itu sambutan dari semuanya begitu hangat dan menyenangkan. Hal ini cukup overwhelming bagi saya yang seorang introvert dan lagi-lagi membuat perasaan saya penuh.
Semoga rasa syukur ini bisa terus saya ingat kapanpun, bahkan di momen-momen yang kurang menyenangkan. Agar saya bisa terus mengingatkan diri saya sendiri bahwa ‘rumah’ itu tak terbatas oleh ruang dan lokasi, namun ada dimana pun saya bisa menjadi diri saya sendiri.
-Biru
Tulisan ini aslinya merupakan surat yang saya kirimkan sebagai Monday Blues Newsletter Week 2 tanggal 9 November 2020. Jika kalian ingin menerima surat dari saya setiap minggunya, silakan subscribe ke: https://bit.ly/BiruNewsletter