Konsekuensi Pilihan Yang Tidak Kita Pilih

Biru Syailendra

--

Cerita ini adalah sesuatu yang terjadi pada sebuah weekend tepat satu tahun lalu. Saat itu momen weekend saya diisi dengan shooting di luar kota, tepatnya di luar pulau setelah sudah lama sekali tidak traveling. Bagi yang belum tahu, saya aslinya merupakan seorang fotografer sekaligus videografer, sehingga kehidupan saya selama 13 tahun ke belakang dipenuhi dengan pershootingan yang bermacam-macam. Saat itu saya baru saja sampai di rumah Minggu malam dan dengan badan yang sakit semua karena lama tidak bekerja seharian di luar ruangan beserta muka yang terkantuk-kantuk, saya perlu segera melakukan backup sekaligus mengirim data-data video pada editor untuk diedit sambil paralel saya mengerjakan editing untuk bagian fotonya.

Ah, rindu sekali rasanya traveling. Karir saya di dunia perkameraan saya rancang agar dapat membuat saya banyak bepergian ke banyak kota, pulau, negara, dan benua. Secara kontradiktif, saya menyadari bahwa saya sesungguhnya merupakan anak rumahan yang sangat nyaman berada di rumah dan mengerjakan pekerjaan rumah. Namun jika saya membiarkan comfort zone saya berhenti di situ, saya tidak akan tumbuh dan melihat kehidupan serta perspektif yang baru. Mungkin approach saya dalam menghadapi masalah kehidupan dengan berbagai perspektif juga datang dari pengalaman saat saya bertemu dan berkenalan dengan banyak jenis budaya dan masyarakat.

Namun kali ini kita tidak akan membahas hal tersebut. Ada hal menarik yang terjadi seputar pekerjaan saya weekend lalu. Dari banyaknya klien yang pernah bekerja bersama saya, terdapat sekian klien reguler yang seringkali menggunakan jasa saya secara rutin. Sebagai penjual jasa, indikator yang baik dalam menilai kinerja kita adalah banyaknya repeat order dari klien yang sama atau klien yang datang karena rekomendasi klien sebelumnya yang puas. Satu dari beberapa klien reguler saya adalah pihak pemerintahan sehingga pekerjaan yang diberikan adalah literally ‘tugas negara’ dan biasa saya sebut dengan istilah ‘buster call’ yang merupakan referensi dari serial One Piece.

Buster call saya hampir selalu dadakan, dengan beragam tugas yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Banyak sekali pengalaman ekstrim yang saya dapatkan dari sini. Namun, sifat tugasnya yang dadakan ini bukannya tanpa harga yang harus dibayar. Buster call saya saat itu membuat saya terpaksa meninggalkan pekerjaan lainnya yang sudah saya kunci sebelumnya. Hal ini sudah terjadi dua kali. Sudah dua klien yang terpaksa saya tinggalkan akibat saya memilih pekerjaan yang datang belakangan karena beragam faktor dan alasan.

Kali pertama terjadi beberapa tahun silam saat saya terpaksa meninggalkan job wedding demi pekerjaan di luar negeri. Job weddingnya adalah pernikahan seseorang yang saya kenal dan sejak lama menginginkan saya menjadi fotografer mereka. Pekerjaan satunya adalah dokumentasi sebuah event besar di Malaysia yang bekerja sama dengan tourism setempat. Ini adalah pengalaman baru, network baru, dan kesempatan besar bagi saya untuk membuktikan diri pada satu klien spesifik yang sudah saya kejar selama bertahun-tahun. Bagi saya, ini adalah sebuah langkah besar dalam bucket list dan cita-cita saya. Karena alasan tersebut, saya segera mencari pengganti saya bagi job weddingan sebelumnya dan mengajak bertemu kliennya secara langsung untuk menjelaskan situasinya sekaligus memperkenalkan orang yang akan menggantikan saya.

foto dari hp saya dari lokasi buster call tahun lalu

Apakah ini tidak apa-apa? Secara prosedural, saya sudah melakukan yang perlu saya lakukan. Secara etika, hal ini debatable dan menurut saya tidak bisa dibenarkan 100%. But life is a choice. You get one thing, you lose another. Setiap pilihan akan memiliki resikonya masing-masing. Pada akhirnya pekerjaan event luar negeri perdana saya sukses besar saat itu. Klien sangat puas dengan hasilnya dan saya dipanggil kembali tahun berikutnya ke Malaysia. Hasil karya saya pun bisa dijadikan portfolio yang sangat bagus hingga saat ini walaupun sudah lewat beberapa tahun. Namun sebaliknya, karena satu dan lain hal, job weddingan yang saya tinggalkan tidak berjalan terlalu lancar dan beberapa pihak merasakan sedikit kekecewaan walaupun tidak signifikan. Saya pun tetap berusaha menjalankan proses damage control dan mengawal hingga pekerjaan usai karena hal ini masih merupakan bagian dari tanggung jawab saya. Ini adalah contoh pertama.

Contoh kedua adalah tahun lalu, dimana saya terpaksa meninggalkan job foto lamaran teman saya akibat buster call. Kali ini karena alasannya merupakan tugas negara, saya tidak memiliki banyak pilihan dan waktu untuk mempertimbangkannya. Tugas negara lah yang harus saya ambil. Saya mengulang proses yang sama seperti sebelumnya dengan mencarikan pengganti saya dan tetap saya kawal hingga selesai. Namun di luar dugaan, job foto lamaran ini selesai dengan sangat memuaskan, bahkan dengan tambahan kisah menarik dimana ternyata fotografer pengganti saya dan kliennya memiliki mutual friend yang sama. Klien pun puas dengan hasil pekerjaan dan treatmentnya. Bisa dibilang, mungkin saja jika saya yang kerjakan seperti rencana awal semuanya tidak akan berjalan selancar ini. Di lain pihak, buster call saya juga berjalan lancar. Kondisi ini adalah win-win solution. Apakah secara etis tetap debatable? Menurut saya iya, namun karena cara penyampaian saya yang baik kepada klien, proses transisi berjalan dengan lancar dan kini semua pihak senang karena segala hal berakhir baik.

foto dari hp saya dari lokasi buster call tahun lalu

Apakah outcomenya akan selalu seperti ini? Tentu saja tidak.

Apapun yang kita pilih dan tidak kita pilih akan selalu memiliki konsekuensi dan hasil masing-masing yang berbeda, baik itu pekerjaan, pilihan sehari-hari, pertemanan, bahkan calon pasangan. Tidak ada hal yang sebagai manusia bisa kita pastikan. Terdapat suratan takdir yang saya percaya sudah digariskan jauh dari sebelum adanya kehidupan, namun ada juga hal-hal dan nasib suatu kaum yang tidak akan berubah kecuali jika kaum itu sendiri yang mengubahnya. Bagian besar dari menjadi dewasa adalah membuat pilihan-pilihan dan keputusan yang kita tahu tidak akan bisa menyenangkan semua pihak, but we move on.

Salam hangat dari saya yang minggu lalu baru membuat sebuah keputusan besar lainnya, mungkin salah satu keputusan terbesar saya dalam 8 tahun ke belakang. Akan saya ceritakan lain waktu ya.

-Biru

Tulisan ini aslinya merupakan surat yang saya kirimkan sebagai Monday Blues Newsletter Week 45 tanggal 6 September 2021. Jika kalian ingin menerima surat dari saya setiap minggunya, silakan subscribe ke: https://bit.ly/BiruNewsletter

Jika kalian menyukai konten saya, kalian bisa support saya untuk terus berkarya via trakteer:
https://trakteer.id/birusyailendra/tip

Sign up to discover human stories that deepen your understanding of the world.

Free

Distraction-free reading. No ads.

Organize your knowledge with lists and highlights.

Tell your story. Find your audience.

Membership

Read member-only stories

Support writers you read most

Earn money for your writing

Listen to audio narrations

Read offline with the Medium app

--

--

Biru Syailendra
Biru Syailendra

Written by Biru Syailendra

Navigating daily adulting dilemmas.

No responses yet

Write a response