Planning VS Eksekusi

Biru Syailendra
5 min readMay 28, 2022

--

Tulisan ini saya sadur dari tulisan saya sendiri dalam Monday Blues Newsletter yang saya kirimkan bulan Juni tahun lalu.

Pada saat itu, selama satu minggu sedang ada pekerjaan yang sangat menyita waktu saya sehingga saya sama sekali tidak sempat untuk streaming. Hal ini mirip dengan yang terjadi satu minggu ini dimana saya belum melakukan stream sejak weekend lalu. Sebetulnya bisa saja saya berkonten dalam bentuk lainnya, tapi pada akhirnya saya tidak mengizinkan otak saya untuk multi-tasking dan memilih menyelesaikan project yang ada di depan mata saja karena kliennya sangatlah penting.

Pekerjaan saya yang berhubungan dengan dunia perkameraan ada sangat banyak sekali jenisnya dan sama sekali tidak monoton. Saya bisa shooting iklan dan short movie yang prosesnya dari subuh hingga subuh berikutnya dengan entah berapa ratus take pengulangan sampai mendapatkan hasil yang diinginkan. Saya bisa mendokumentasikan hal-hal yang berhubungan dengan couple seperti lamaran, prewedding, wedding yang seluruh alurnya tertebak dan merupakan sebuah pengulangan yang cukup aman dan mainstream. Sebaliknya, saya juga bisa mengabadikan event seperti konser musik yang selalu tak terduga dengan banyaknya aksi di atas panggung dan tata cahaya yang sama sekali tidak bisa kita atur, serta durasi performance yang sangat pendek dimana jika sebuah momen terlewat, maka momen tersebut akan lewat dan hilang untuk selamanya. Saya juga bisa membuat film dokumenter untuk sebuah tur band ke luar kota atau ke luar negeri, ke tempat yang tidak saya ketahui, dengan beragam kejadian yang tidak terduga dimana mulai dari bangun tidur hingga tidur kembali merupakan sebuah opportunities bagi momen-momen yang perlu ditangkap. Lalu yang paling absurd, saya juga bekerja pada klien yang merupakan pihak-pihak yang berada di garis depan marabahaya dimana keselamatan nyawa saya bisa selalu menjadi taruhannya.

Untuk seorang introvert dengan tingkat introversion 83% berdasarkan hasil tes di 16personalities.com (haha), kehidupan saya sangatlah penuh petualangan, dinamis dan berwarna. Lalu bagaimana saya menghandle ini semua dan men-tackle setiap problematika yang datang satu per satu?

Apa kalian tahu bahwa kecerdasan setiap orang berbeda-beda? Bahkan kecerdasan memiliki banyak jenis yang tidak bisa kita samakan antara satu orang dengan orang lainnya. Dalam menentukan indikator kecerdasan ada banyak teori-teori yang sudah dibuat, salah satunya adalah ‘Multiple Intelligence Theory’ oleh Howard Gardner yang membagi kecerdasan menjadi 9 tipe.

Ini akan bisa menjadi bahan bacaan kalian berikutnya untuk dapat lebih mengenal diri kalian sendiri dan juga tidak terintimidasi ataupun rendah diri di hadapan orang yang memiliki tipe kecerdasan berbeda. Karena sesungguhnya kita tidaklah kurang dibandingkan orang lain, hanya memiliki stat yang berbeda.

Namun pembagian kecerdasan lainnya yang lebih banyak digunakan secara formal adalah dengan tipe Quotient seperti IQ. Jenis quotient ini pun sebenarnya juga memiliki 8 indikator, yaitu:
1. IQ (kecerdasan intelektual)
2. EQ (kecerdasan emosional)
3. SQ (kecerdasan spiritual)
4. MQ (kecerdasan moral)
5. AQ (kecerdasan adversitas)
6. ESQ (penggabungan kecerdasan emosional dan spiritual)
7. CQ (kecerdasan kreativitas), dan
8. LQ (kecerdasan cinta)

Mohon diingat bahwa FaQyu tidak termasuk di dalam sini, hahahahahahahahahahahahahahahahahhahaha. Sumimasen.

Kembali ke bagaimana saya men-tackle setiap masalah satu per satu adalah dengan berusaha meningkatkan tingkat AQ atau Adversity Quotient yang saya miliki. AQ adalah tingkat kemampuan seseorang dalam menghadapi sebuah kesulitan. Paul G Stolz membagi tiga jenis masyarakat berdasar AQ-nya yaitu:
1. Quiters — Orang yang menyerah saat bertemu masalah — AQ lemah
2. Campers — Merasa cukup puas dengan yang dicapai dan tidak ingin maju — AQ sedang
3. Climbers — Mampu bertahan menghadapi kesulitan dan tantangan hidup — AQ tinggi

Apakah jika AQ kita rendah tandanya kita orang yang gagal? Tidak juga, karena setiap orang memiliki cara yang berbeda dalam meng-approach kehidupan. Namun saya yang tipe planner belajar bahwa semakin saya berkutat lama dalam planning yang saya miliki, maka semakin saya ragu untuk melakukan eksekusi dari ide-ide saya karena variabelnya akan selalu bertambah tanpa henti.

Tanpa menghilangkan unsur planning dalam diri saya, saya perlu menyeimbangkan diri dengan melemparkan diri saya ke tengah situasi yang memerlukan spontanitas dan problem solving yang cepat. Di sinilah sense dan intuisi saya betul-betul dilatih untuk dapat dengan segera melakukan pengambilan keputusan.

Apa kalian tau kalau dalam permainan catur ada yang disebut dengan ‘speed chess’? Dimana para pemain tidak memiliki banyak waktu untuk menganalisa sehingga pergerakan satu sama lain dilakukan secara instan. Namun apakah menurut kalian hanya karena pergerakannya dilakukan secara instan lantas pemainnya mengambil langkah tanpa berpikir? Justru sebaliknya, semua pikiran dan langkahnya dilakukan dengan perhitungan yang sangat cepat di dalam otak melalui sesuatu yang disebut sebagai intuisi.

Seringkali intuisi bukanlah feeling atau tebak-tebakan semata, namun merupakan sekumpulan data yang berproses dengan sangat cepat di dalam otak, saking cepatnya hingga kita tidak bisa memahami prosesnya. Lalu data ini datangnya dari mana? Tentu saja dari pengalaman; yang kita kerjakan, lihat, tonton, baca, dengar, ucapkan, dan lakukan. Setiap kali kita mencoba sesuatu dan gagal ataupun berhasil. Setiap kali kita mencoba kombinasi baru dari segala sesuatu yang pernah kita lakukan sebelumnya. Segala pengalaman ini ter-otomatisasi menjadi sebuah muscle memory oleh tubuh kita, termasuk otak kita di dalamnya.

Oleh karena itu, seimbangkanlah planning kalian dengan eksekusi sebanyak mungkin. Dengan di-drill seperti itulah kita akan dapat membangun sebuah body of work yang akan selalu bisa kita bawa kemana-mana untuk dapat menyelesaikan masalah apapun yang ada.

Hope it helps. Dalam kesempatan lainnya saya akan menjelaskan hal ini dari sudut pandang yang berbeda. Until then, let’s do the work!

-Biru

Tulisan ini aslinya merupakan surat yang saya kirimkan sebagai Monday Blues Newsletter Week 34 tanggal 21 Juni 2021. Jika kalian ingin menerima surat dari saya setiap minggunya, silakan subscribe ke: https://bit.ly/BiruNewsletter

Jika kalian menyukai konten saya, kalian bisa support saya untuk terus berkarya via trakteer:
https://trakteer.id/birusyailendra/tip

--

--

Biru Syailendra
Biru Syailendra

Written by Biru Syailendra

Navigating daily adulting dilemmas.

No responses yet